Pages

Wednesday, 22 May 2013

"Buku, Pesta, dan Cinta" di Asrama Juga Ada

Slogan “buku, pesta dan cinta” pastinya sudah amat dikenal di kalangan mahasiswa. Saya sendiri mengetahui slogan ini dari Rektor saya beberapa tahun lalu dalam sebuah pelatihan. Bagi yang belum pernah mendengar, slogan “buku, pesta dan cinta” ini awalnya dikumandangkan oleh Soe Hok Gie, yang melambangkan kehidupan mahasiswa dan sangat terkenal di kalangan akademisi Universitas Indonesia. Namun, kali ini saya akan membicarakan “buku, pesta dan cinta” dari sudut pelajar SMA terutama di asrama, berdasarkan pengalaman saya bersekolah di SMA Pangudi Luhur van Lith, Muntilan.

Saya masuk dan bersekolah di SMA PL van Lith pada tahun 2006, bersama dengan 159 putra-putri lain dari seluruh penjuru Indonesia. Singkatnya, saya menjalani pendidikan Sekolah Menengah Atas dan menghabiskan 3 tahun masa remaja saya di asrama, di sebuah kota kecil di kaki gunung Merapi. Banyak dinamika dan naik turun kehidupan yang saya –atau boleh mewakili teman-teman disana– alami. Susah, senang, galau, homesick, dan banyak lagi. Kali ini saya akan menceritakan tiga aspek yang lekat dengan mahasiswa tadi, yang terjadi di sekolah asrama.

BUKU. Sebagai pelajar tentu aspek ini yang paling utama. Walaupun berasrama, pada dasarnya sistem kurikulum pendidikan di SMA PL van Lith tidak jauh berbeda dengan sekolah reguler lainnya. Hidup di asrama mewajibkan kami untuk mengikuti perkembangan dunia luar, nggak boleh kudet. Dari sisi akademis kami pun sering bersaing sehat dengan banyak sekolah lain, dengan mengedepankan sistem yang mengharuskan kami belajar untuk lebih aktif mencari ilmu, bukan hanya menerima ilmu. Banyak yang beranggapan dengan bersekolah di sekolah asrama lantas membuat kami siswanya menjadi kutu buku, nerd, cupu, dengan membawa setumpuk buku tebal kemana-mana. Nggak, itu salah banget. Sebagai remaja pada umumnya kami juga memiliki sisi nyantai, terkadang hanya membawa sebuah binder ke sekolah, dan belajar untuk ulangan dengan sistem kebut semalam. Bagi saya sendiri hidup di asrama itu harus dinikmati, jangan terlalu spaneng. Menikmati hidup, yang terpenting dari semuanya itu adalah hasil yang dipetik. Berbagai macam medali dan piala kejuaraan di bidang akademik sudah banyak diraih oleh SMA PL van Lith. Begitu pun dengan ranking di urutan sekolah bergengsi di Jawa Tengah dan nasional. Buku bagi kami, penting.

PESTA. Hidup itu harus dinikmati.. (amiiinnn?) Lagi-lagi, walaupun hidup di asrama kami punya cara sendiri untuk menghibur diri, salah satnya dengan pesta. Tapi, jangan samakan pesta yang kami buat ini dengan pesta lainnya di luaran sana. Dalam satu tahun ada lebih dari tiga pesta yang kami buat. Mulai dari Christmas Party, Valentine Party, Welcome Party, BKS Party, Hari Van Lith, sampai pesta nama Santo/Santa Pelindung. Semuanya tentu buatan sendiri para siswa SMA PL van Lith di bawah koordinasi dari OSVALI (OSIS SMA PL van Lith). Ketika pesta-pesta ini berlangsung pastilah semua warga van Lith (sebutan untuk pelajar dan penghuni asrama) ikut berperan serta memeriahkan acara. Semua berbahagia, mulai dari tarian, musik, sampai mosing bersama dilakukan dalam pesta-pesta ini. Pesta yang dilaksanakan ini bukan bermaksud untuk hura-hura, tapi lebih pada perayaan suatu acara, kebersamaan, dan lebih mempererat kedekatan antara warga van Lith, para pendamping, juga warga sekitar, karena tidak jarang pesta yang diadakan melibatkan warga sekitar sekolah dan asrama. Pesta bagi kami, juga penting.

CINTA. Tidak bisa dipungkiri bahwa cinta tidak bisa lepas dari kehidpan remaja terutama masa SMA. SMA PL van Lith adalah sekolah berasrama putra (ASPA) dan putri (ASPI). Intensitas pertemuan dan banyaknya kegiatan bersama tidak jarang menumbuhkan benih-benih cinta di antara ASPA dan ASPI, saya pun pernah mengalami (jiyeeee…). Hidup di asrama membuat kami memiliki banyak cara unik dalam menyatakan cinta dan sayang, mulai dari cara nembak, merayakan bulanan, ulang tahun pasangan, dll. Mulai dari ASPI yang jadi lebih sering belajar memasak untuk pacarnya, sampai ASPA yang menjadi lebih tekun dalam membuat origami dan membungkus kado. Cara berpacaran di asrama pun terbilang unik, karena hanya diizinkan membawa handphone hari Kamis, Sabtu dan Minggu, kami berkomunikasi dengan pacar menggunakan surat, buku medikom (media komunikasi), dan terkadang mencuri chatting di ruang komputer asrama saat jam studi. Barisan pasangan baik yang berstatus pacaran ataupun masih gebetan juga terlihat saat jam pulang kegiatan sore atau selepas jam bebas, dan kemudian gerbang ASPI pun berubah menjadi gerbang cinta, dimana banyak pasangan yang melepas rindu sebelum akhirnya terpisah asrama lagi, bagi yang nggak punya pasangan yaaa paling sekedar jajan batagor atau ke toko BRIP (Bu Rustam Indah Plaza), hehe. Klasik, tapi dengan itu justru kami memiliki kenangan tersendiri mengenai kisah percintaan jaman SMA. Pacaran yang dijalani juga cenderung positif karena sering juga tiap pasangan belajar bersama dan menjadi tempat untuk curhat. Cinta, tentu penting.

Nah, dari tiga aspek yang saya ceritakan jadi, itulah uniknya bersekolah di asrama terutama SMA PL van Lith dan itu sendiri baru sebagian kecil dari pengalaman 3 tahun yang saya alami. Saya pribadi selalu bangga dan bahagia apabila mengingat kembali dan menceritakan kisah saya di van Lith. Terimakasih atas kesempatan untuk berbagi kisah indah mengenai SMA PL van Lith. Nyalakan, kobarkan, api van Lith di mana pun….

--Elizabeth Jane Caesarina (VL XVI)

Behind the Scene

(bacalah dengan tingkat kedewasaan yang cukup)


Merinding rasanya setiap pulang ke rumah selalu melewati suatu bangunan megah yang konon katanya adalah sebuah benteng yang dibangun dengan sentuhan arsitektur belanda. Benteng yang saat ini telah disulap menjadi sebuah sekolah berasrama yang dikelola oleh Yayasan Pangudi Luhur dan diberi nama SMA PANGUDI LUHUR VAN LITH MUNTILAN. Suatu tempat dimana saya menghabiskan 3 tahun masa alay dan ababil saya.

Entah suatu keberuntungan (atau kesialan), saya adalah satu dari sekian banyak orang Muntilan yang diberikan kesempatan (atau cobaan) untuk merasakan manis dan pahitnya hidup di Van Lith.  Bagi beberapa manusia yang berkesempatan untuk sekolah di Van Lith, siswa yang berasal dari Muntilan dianggap beruntung karena “kita” tidak perlu menanggung beban psikologi yaitu meninggalkan rumah terlalu jauh. Kalau homesick, tinggal lompat langsung sampe rumah (yang ini rada lebay sih). Tapi bagi saya, hal tersebut merupakan sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, dekat dengan rumah adalah suatu keuntungan karena tidak perlu menunggu minggu ke-2 untuk sekedar menengok keadaan di rumah. Tetapi di sisi lain, saya harus pintar-pintar “memakai topeng” untuk selalu bersikap baik di mata pendamping dan pamong demi menjaga nama baik orang tua.

Saya bukanlah murid Van Lith dengan stereotipe anak Van Lith kebanyakan. Dilihat dari segi intelektualitas, saya bukan siswa yang brilian. Nilai saya biasa-biasa saja. Dilihat dari segi sikap pun tak jauh berbeda. Saya bukanlah siswa yang setiap pagi bisa bangun jam 4.30, belajar 3 jam per hari di asrama, selalu berdoa bersama di malam hari, mencuci piring sesudah makan, mencuci pakaian sendiri, dan hidup disiplin bagaikan robot yang sudah terprogram sesuai aturan yang ditanamkan di otaknya.

Di Van Lith itu kita tidak melulu disuguhi sirup, tidak jarang juga kita (dipaksa) mengecap pahitnya brotowali dalam kehidupan berasrama. Gesekan-gesekan yang terjadi dengan angkatan lain pun pasti ada. Beruntung bagi saya, saya belom pernah merasakan horornya mendapatkan panggilan “ woy gue tunggu lo di WP”, atau tiba-tiba berada ditengah kerumunan senior yang siap melayangkan tinjunya kapan saja. Oleh sebab itu saya pun sungkan ketika diajak teman-teman untuk melakukan pemanasan tinju amatir (dengan “mainan” / “manusia” sebagai sandsack nya) di wc peziarah / kawasan wc aspa 3. Bukannya cupu, saya hanya tidak punya ketegaan untuk meng-KO-kan anak orang yang (mungkin) sebenernya hanya melakukan suatu kesalahan sepele yang membuat gatal tangan para senior-seniornya. (Yah, namanya juga asrama, kelas 1 jadi mainan, kelas 2 manusia, kelas 3 dewa.)

Bruder Agus Sekti (yang ngasih stiker lima jari di pipi paling banyak sepanjang sejarah hidup saya) pernah bercerita kepada saya seperti ini ; “Van Lith itu ibarat seorang penjual nasi bungkus yang berjualan di terminal. Dari Kenek, Supir, Pedagang, Anak sekolah, sampai tukang parkir makan disana. Ada yang merasa asin, ada yang merasa pait, ada yang merasa asam, ada pula yang merasa enak, tetapi tanpa mereka sadari, berkat nasi bungkus itulah mereka dapat terus melanjutkan kegiatan mereka. Begitu juga dengan didikan Van Lith. Semua siswanya datang dari bermacam-macam daerah. Ada yang suka dengan aturannya, ada yang tidak suka, tetapi secara tidak mereka sadari, Van Lith sudah menanamkan banyak hal yang pasti berguna bagi masa depan anak didiknya.” Ya, Van Lith memang tidak bisa memuaskan semua pihak, tetapi sadar atau tidak, pasti ada suatu hal positif yang sudah Van Lith tanamkan di hatimu. Tinggal bagaimana caranya kamu menggunakan api Van Lith yang sudah tertanam di dadamu!

Demikian refleksi pengalaman hidup saya semasa di Van Lith. Saya menuliskan beberapa sisi kelam di Van Lith karena saya ingin orang di luar Van Lith tidak hanya tahu Keindahan Van Lith dan lulusannya, tetapi juga bisa mengenal Van Lith apa adanya, seperti saya yang mulai berusaha melepaskan topeng dan bersikap apa adanya selepas meninggalkan Van Lith.Terimakasih Van Lith untuk 3 tahun yang sangat istimewa di masa remajaku. Suatu kebahagiaan dapat merasakan kehidupan istimewa ala Van Lith.

--Christophorus Alpha Widyatmoko (VL XV)

Everything Happens for a Reason


Everything happens for a reason. If anything come to my mind when someone asked me about my exprience with Van Lith, I'd say it's 'everything happens for a reason'. Nothing happens by chance or by means of bad or good luck. Through my 2 years with van Lith and 16th, I've stumbled upon many experience. Illness, injury, fall in love, great loss and sheer stupidity, occur to test the limits of our soul. Without these small tests-events, illnesses or relationships, life would be like a smoothly paved, straight, flat road to nowhere. A safe and comfortable, yet dull life does not give you anything. Your experiences create who you are. You can learn a lot from them. If someone hurts, betrays or breaks your heart, forgive them, for they have helped you learn about trust and the importance of being cautious to whom you open your heart. If someone loves you, love them back unconditionally, not because they love you, but because they teach you to love and open your heart and eyes to things you would have never seen or felt before. Make every day count. Appreciate every moment and take from it everything that you possibly can, for you may never be able to experience it again. Talk to people you have never talked to before, and listen to them. Let yourself fall in love. Break free and set your sights high. Hold your head up because you have every right to do so. Tell yourself that you are a great individual and believe in yourself, for if you don't, no one else will believe in you. You can make of your life anything you wish. Create your own life and then go out and live it. Set the fire, not necessarily to the rain, but to blaze your way onward redemption revolution.

--Antonius Aditya (VL XVI)

Friday, 17 May 2013

Di Balik Hingar Bingar Hari Van Lith

Sejarah Singkat

Romo Fransiskus Georgeus Josephus Van Lith, atau yang akrab dengan panggilan Rm. Frans Van Lith, lahir di Oirschot, Belanda pada tanggal 17 Mei 1863. Beliau adalah seorang imam dari serikat Jesuit. Namanya kemudian di kenal sebagai misionaris pertama yang mengenalkan agama Katholik di Pulau Jawa. Romo Frans Van Lith pertama kali datang ke Pulau Jawa pada tahun 1896 di kota Semarang. Untuk menyukseskan karya misionernya di Pulau Jawa, Romo Van Lith mulai mempelajari Bahasa Jawa. Tujuannya adalah agar ia dapat berkomunikasi dengan rakyat setempat dan sekaligus dapat menyampaikan ajarannya sesuai dengan budaya dan adat setempat.Setelah berhasil menyatu dan berdinamika dengan rakyat, pada tanggal 14 Desember 1904, Romo Van Lith membaptis sebanyak 171 warga desa Kalibawang di Sendangsono, merekalah pribumi pertama yang menjadi Katholik. Peristiwa ini kemudian dipandang sebagai lahirnya Gereja di tanah Jawa. Selain itu beliau juga memberikan karya besar dibidang pendidikan dan politik bangsa Indonesia. Romo Van Lith meninggal pada tanggal 9 Januari 1926 pada usia 62 tahun.



Bagi keluarga besar SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan, 17 Mei nampaknya menjadi sebuah tanggal bersejarah. Hari kelahiran sang pendiri sekolah ini diperingati setiap tahunnya. Terlebih pada hari ini 17 Mei 2013, tepat 150 tahun dari kelahiran sang misionaris.

Bukanlah suatu hal yang salah apabila dari tahun ke tahun Hari Van Lith diperingati dengan berbagai rangkaian kegiatan yang diadakan oleh sekolah. Namun sadarkah kita, terkadang dibalik setiap kegiatan yang kita laksanakan dengan judul "Peringatan Hari Van Lith", tujuan yang kita capai belum sepenuhnya sesuai dengan apa yang seharusnya. Sering kali kita justru terkesan melupakan makna penting dibalik setiap peringatan Hari Van Lith.

Memang harus kita akui bahwa rangkaian acara-acara yang menarik akan mengundang antusiasme dari berbagai pihak dan kalangan. Namun apa lah arti sebuah antusiasme jika yang menjadi target didalamnya adalah sebuah acara, penampilan maupun pertunjukan hiburan semata. Bukankah yang seharusnya menjadi target setiap peringatan Hari Van Lith adalah penanaman dan pengembangan visi-misi Romo Van Lith? Maka antusiasme di balik hingar bingar rangkaian Hari Van Lith ini akan menjadi lebih berharga apabila di dalamnya mampu terlahirkan kembali cita-cita dan semangat berkarya yang selama ini telah dicerminkan oleh Romo Van Lith.

Boleh saja kita turut merayakan Hari Van Lith dimana pun kita berada, tapi satu hal yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai perayaan ini. Janganlah kita ikut bersorak-sorai tanpa tahu apa maknanya.

Hari Van Lith sudah selayaknya menjadi sebuah momen dimana kita sebagai putera-puteri Van Lith mulai menengok ke dalam diri kita masing-masing, sudah sejauh mana teladan Romo Van Lith berkembang dalam diri kita. Sudahkah kita benar-benar meneladan sosoknya? Sudahkah kita menjadi putera-puteri Van Lith? Apakah api cita-cita dan semangat Romo Van Lith masih berkobar seperti yang dulu? Bagaimana jadinya jika ternyata semangat Van Lith dalam diri kita yang kita bangga-banggakan dimanapun setiap waktu, pada kenyataannya telah menjadi sesuatu yang semakin lama semakin luntur dan hanya menjadi sebuah omong kosong. Jangan sampai kita terlambat menyadari.

Kita selalu bangga akan siapa pendiri sekolah kita, Romo Van Lith. Merasa bangga menjadi salah satu siswa dari sekolah yang didirikannya. Tetapi bukankah setiap orang juga dapat sekadar berbangga akan hal itu? Setiap orang yang mengenal sosok Romo Van Lith dapat dengan mudah bangga terhadap beliau. Maka sesungguhnya kita baru akan dapat berbangga jika kita telah mampu membuat setiap orang yang mengenal kita melihat pribadi kita sebagai pribadi berkarakter, buah didikan Romo Van Lith.

Hari Van Lith adalah sebuah momen wajib bagi kita untuk berrefleksi diri, setidaknya untuk setiap tahunnya, namun yang terpenting cita-cita dan semangat Romo Van Lith haruslah kita terapkan setiap hari.

Selamat Memperingati 150 Tahun Hari Van Lith. Viva Van Lith!
--@PojokVanLith





Thursday, 16 May 2013

Renungan Malam di Tanah Perantauan

Jam dikomputer jinjing saya menunjukan pukul 00.15, baru saja sebuah tugas yang diberikan dosen telah saya garap walaupun belum selesai. Sesuai dengan tipe-tipe orang pada umumnya, musik menjadi pendamping dalam aktivitas yang mengharuskan saya untuk berkonsentrasi, kerja pribadi, dan fokus pada satu hal. Tugas tadi saya kerjakan sembari mendengarkan musik yang saya putar acak di Media Player saya. Tombol save dan exit sudah saya klik, kini masih terputarlah sebuah lagu jadul. Cukup lama saya merasa terpana dengan lagu ini, bukan hanya karena lirik lagu dan pembawaan sang vokalis, tetapi juga karena betapa banyak kenangan yang terdapat dalam lagu ini. Lagu ini seolah memutar kembali pikiran saya kepada masa-masa sekolah saya. Tidak terasa sudah dipenghujung dari lagu tersebut, dan seketika itu saya tersadar bahwa dari tadi saya hanya diam, mengenang kembali masa-masa muda saya di tempat itu, sambil tentunya tersenyum sendiri ketika hadir memori yang lucu tentang suatu momen atau personal seseorang dimasa muda saya itu.

Ya, tak terasa bagi saya, waktu berjalan sangat cepat. Lagu tadi itu seolah membuka kembali peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi waktu itu. Teman. Dalam situasi seperti ini, salah satu yang saya ingat kembali adalah teman-teman akrab saya dahulu, teman akrab di kelas maupun asrama. Semua seperti terputar kembali dikepala, bagaimana saat itu keadaan kelas dengan berbagai kondisi, berbagai kondisi yang saya maksud adalah lingkungan, pengajar, dan apa saja yang saya lakukan dengan teman-teman akrab saya. Rasanya waktu itu saya sering sekali untuk bercanda gurau, hanyut dalam gelak tawa, dan cerita. Berbagai cerita kerap sekali kami bagikan, entah yang bersifat humor maupun yang bersikap personal. Dahulu, saya mungkin terhitung murid yang tau diri, tau diri ketika harus gila dalam hal-hal gila dalam nuansa persahabatan, tetapi diwaktu yang sama juga saya masih bisa mengontrol diri saya sehingga masih dalam batas wajar kegilaan. Saya sangat merasakan sekarang, bagaimana saya dulu meluapkan kebahagiaan itu bersama teman-teman saya.

Kini, saya kembali tersadar kehidupan masa kini saat saya kembali melihat ke arah komputer jinjing, ke setiap sudut ruangan kost-kostan ini, ke arah tumpukan buku-buku tebal yang menjadi bacaan wajib para mahasiswa, dan ke arah luar kost saya terdapat berderet pintu-pintu penghuni kost lainnya. Bagaimana rasanya hidup sendiri sangat terasa sekali perbedaannya.Dahulu mungkin jam segini masih ada yang sedang belajar ekstra demi memahami materi atau karena besoknya ulangan. Dahulu pasti makan selalu ber-ramai-ramai. Makan di refter menurut saya pribadi selalu menjadi ajang sharing bagi para penghuni meja makan tentang kejadian apa saja yang telah dialami si pelaku dalam satu hari tadi. Makan pun selalu pada jam yang sama setiap harinya. Sekarang kalau makan, saya selalu sendiri atau minimal bersama teman kelas, belum lagi saat bingung memilih makanan apa yang akan disantap, nampaknya hal tadi masih mending, yang lebih parah lagi mungkin kalau bingung karena tanggal tua, menu makan harus ekstra dalam pemilihannya. Dahulu, makanan selalu ada bagi para penghuni asrama, tetapi mereka selalu tertarik untuk makan di luar asrama. Sedih sekali bukan ketika menyadari hal itu?

Dan ada pertanyaan yang seketika muncul dibenak saya, "Apa kabar kalian, teman?". Sudah lama rasanya saya tidak bercanda gurau lagi, tidak mengingat hal-hal gila yang kita lakukan, tidak lagi berbagi cerita kisah-kisah yang sekiranya perlu untuk diceritakan dan dibagikan, tidak lagi membuat lelucon-lelucon. Teman, rasanya baik sekali kalau kita sedikit meluangkan hidup kita ini untuk teman-teman lama kita. Rutinitas mahasiswa sibuk rasanya bisa sedikit terhibur oleh kehadiran teman-teman tadi.

Sudahkah anda menanyakan kabar teman-teman lama anda?
#np Sheila on 7 - Sahabat Sejati

--@PojokVanLith

Sunday, 5 May 2013

Masuk ke Dalam Masa-Masa Transisi

Transisi atau perubahan, pasti semua orang pernah mengalami suatu perubahan, baik perubahan fisik yang dapat terlihat, maupun perubahan sifat yang harus disadari melalui berbagai refleksi dan pengolahan diri. Tidak terkecuali bagi para anak-anak Van Lith yang mengalami perubahan struktur hidup setelah mengalami hidup berasrama. Ya, pola hidup berasrama di Van Lith memang diharapkan membawa perubahan sifat positif bagi para penghuninya. Banyak sekali dari kita yang selalu menginginkan perubahan positif setelah masuk asrama. Disiplin, Tanggung Jawab, dan Mandiri adalah kata-kata yang sering sekali kita dengar didalam wawancara tes masuk, didalam percakapan orang tua kepada kolega-koleganya ketika bercerita tentang betapa bangganya mereka memasukkan anak-anak mereka di dalam lingkungan asrama, dan masih banyak lagi.

Mungkin banyak sekali dari kita yang mendengar suatu statement bahwa masuk asrama bisa benar-benar merubah sifat seseorang menjadi sangat positif tetapi juga bisa merubah menjadi sangat negatif. Yap, saya sangat setuju sekali dengan statement diatas. Tetapi bagaimanapun juga keteguhan mental anak tersebutlah yang seharusnya menjadi salah satu faktor dalam perubahan sifat anak tersebut, tidak melulu lingkungan yang harus dipersalahkan dalam perubahan sifat seseorang.

Kembali ke transisi tadi, banyak orang tua berharap bahwa asrama dapat merubah sifat anak menjadi lebih baik. Sikap tersebut tidak berlebihan, karena menurut pengalaman pribadi pun saya merasakan hal itu. Namun, seringkali, banyak orang tua yang mengabaikan suatu dampak atau efek yang kurang baik dari memasukkan anak ke sistem asrama. Maka, demi mencegah hal itu, ada baiknya orang tua ikut berperan juga dalam mengetahui perkembangan anak di dalam lingkungan asrama. Komunikasi menjadi hal yang sangat penting demi mengetahui perkembangan si anak di asrama. Komunikasi dengan si anak sendiri maupun dengan pamong asrama rasanya menjadi hal yang bukan lagi perlu tetapi wajib bagi orang tua.

Biasanya  orang tua akan merasakan transisi anaknya ketika mereka menjalani liburan di rumah. Orang tua harus menemukan perubahan apa yang dialami si anak, melalui pendekatan komunikasi maupun melihat sikap si anak di rumah. Menurut saya pribadi, perubahan si anak sesungguhnya baru dapat dilihat di tahun kedua. Pada tahun pertama, anak cenderung merasa bahwa ia harus bersikap baik di rumah karena merasa pendidikan di asrama mengajarkan hal demikian. Mereka bangga membawa pulang perubahan positif yang ia peroleh dari asrama.

Di tahun kedua barulah orang tua harus benar-benar memperhatikan perubahan sesungguhnya pada sang anak ketika mereka pulang. Berbeda dengan tahun pertama dimana si anak masih antusias dengan sistem asrama yang mereka anggap positif (dan memang sebenarnya positif jika benar-benar ditaati, menggunakan rasa, akal budi, dan kesadaran dalam menjalani rutinitas asrama). Perbedaan yang terjadi disini ialah pemahaman anak tentang seluk-beluk rutinitas asrama, mencari celah-celah dalam rutinitas, dan mulai merasa jenuh dengan keseharian asrama. Secara sadar atau tidak sikap-sikap diatas sebenarnya sudah menutup pintu ke-antusias-an, ke-bangga-an, dan ke-sadar-an anak dalam menjalani kehidupan asrama. Sehingga kebanggaan yang mereka rasakan ditahun pertama seolah-olah hilang begitu saja, sikap bangga akan perubahan positif yang mereka bawa ketika pulang ke rumah pun menjadi kurang dirasakan disini.

Maka, betapa baiknya jika kepada mereka ditanamkan secara lebih mendalam tentang kebanggaan, kesadaran, dan keantusiasan dalam menjalani kehidupan asrama, khususnya di setiap tahun.
Bukankah dahulu asrama yang menjadi ciri khas SMA Pangudi Luhur Van Lith sangat dibangga-banggakan karena disipilin, tanggung jawab, dan kemandirian anak didiknya? Sudah menjadi pekerjaan kita bersama dalam membangun kembali rasa kebanggaan terhadap citra asrama kita. Karena rasa bangga, apresiasi, dan sikap memiliki seharusnya dapat membuat anak-anak asrama lebih sadar dalam menjalani kehidupan asrama. Dan dengan sikap dan perwujudan tadi maka secara pasti anak-anak yang menjalani rutinitas asrama dengan rasa sadar, bangga, apresiasi tinggi, dan rasa saling memiliki jelas akan mendapatkan apa yang orang tua inginkan dari tujuan memasukkan anak mereka ke asrama, yakni perubahan positif atau transisi positif.
Viva Van Lith! Maju terus semangat-mu!

Penulis adalah  Admin twitter @PojokVanLith